Ikatan Alumni Prasetiya Mulya (IKAPRAMA) Share Interest Group (SIG) Financial Club dan Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan II menggelar webinar dengan tema ‘Prioritas Pengawasan Wajib Pajak High Wealth Individual (HWI) 2025: Strategi Tata Kelola yang Efektif dan Efisien’ pada Kamis, 25 Juli 2024. Acara ini menghadirkan pembicara Fransiska Yansye, Fungsional Pajak Ahli Madya; Irla Putri Safitri, Fungsional Penyuluh Pajak Ahli Pertama Kanwil DJP Jakarta Selatan II; dan Leander Resadhatu Rusdiono, alumni Magister Management Business Management (MMBM) Universitas Prasetiya Mulya, Pengurus IKAPRAMA Financial Club, serta Partner RDN Consulting.
Leander Resadhatu Rusdiono menjelaskan bahwa tema webinar ini didasarkan pada kebijakan DJP yang berupaya memperkuat ekstensifikasi pajak dan pengawasan berbasis kewilayahan dengan menerapkan penyusunan daftar prioritas pengawasan atas Wajib Pajak kategori HWI. Kebijakan ini tercantum dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025.
“Tetapi kedepannya, setiap KPP (Kantor Pelayanan Pajak) penting sekali untuk melakukan edukasi kepada seluruh Wajib Pajak yang, termasuk kedalam kategori HWI ataupun Wajib Pajak orang pribadi yang besar pada setiap KPP tersebut. Karena dilihat dari Laporan Kinerja (Lakin) DJP 2023 menyatakan, bahwa upaya-upaya pada tahun 2023 yang mendorong tercapainya keberhasilan kinerja DJP adalah pengawasan Wajib Pajak orang pribadi kategori HWI. Artinya, bahwa pengawasan Wajib Pajak orang pribadi HWI merupakan salah satu faktor yang mendorong keberhasilan kinerja DJP tahun 2023,” demikian diutarakan Resadhatu.
Menurutnya, pengawasan terhadap Wajib Pajak HWI sangat penting karena Indonesia menerapkan sistem self-assessment. Namun, lebih penting lagi adalah melakukan edukasi preventif agar Wajib Pajak HWI melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar dan tepat.
“Dari komposisi jenis penghasilan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Tahunan Wajib Pajak orang pribadi, 22.700 merupakan HWI dengan kriteria memiliki penghasilan lebih dari Rp 3 miliar dan total harta bersih melebihi Rp 10 miliar pada 2017 dan 2018. Hal ini mengindikasikan, sumber penghasilan Wajib Pajak HWI sebagian besar berasal dari passive income, yaitu capital gain, dividen, bunga, dan sewa. Di sini ada teman-teman dari Kanwil DJP Jakarta Selatan II yang akan mencoba memberikan edukasi, tapi kami mencoba juga mengambil dari kaca mata konsultan bagaimana menyikapi prioritas kebijakan perpajakan yang memprioritaskan pengawasan pada Wajib Pajak HWI,” ungkap Resadhatu.
Leander juga menjelaskan berbagai definisi HWI, seperti yang disampaikan oleh Knight Frank, bahwa HWI adalah individu dengan kekayaan bersih minimal 1 juta USD atau setara dengan Rp 15 miliar. Jurnal ilmiah berjudul ‘Analisis Pengaruh Investable Asset Terhadap Penghasilan Dalam Angka Penggalian Potensi Pajak HWI di Indonesia’ menyebutkan bahwa HWI di Indonesia memiliki kriteria harta bersih di atas Rp 10 miliar dan total penghasilan di atas Rp 3 miliar per tahun dalam tiga tahun terakhir.
“Sejak tahun 2011 hingga 2016, jumlah HWI mengalami pertumbuhan signifikan dari 2016 ke 2017. Salah satu faktornya mungkin karena adanya tax amnesty. Jika kita melihat data The Wealth Report, pada tahun 2023 terdapat 1.479 penduduk Indonesia yang memiliki kekayaan lebih dari 30 juta USD, naik 42 persen dari tahun 2022 yang sebanyak 1.420 orang, dan diproyeksi tumbuh 34,1 persen pada 2028 atau mencapai 1.980 orang,” ungkap Resadhatu.
Fransiska Yansye, Fungsional Pajak Ahli Madya, menjelaskan tentang konsep Data Unit Keluarga (DUK) dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). DUK mencakup kepala keluarga dan seluruh anggota keluarga sebagai satu kesatuan ekonomi, sementara PTKP adalah batas penghasilan Wajib Pajak yang tidak dikenai pajak.
“Kita harapkan jangan salah memahami DUK dan PTKP karena bisa menimbulkan kemungkinan Wajib Pajak HWI membayar pajak berlipat-lipat. HWI ini akan besar jumlahnya,” kata Fransiska.
Irla Putri Safitri, Fungsional Penyuluh Pajak Ahli Pertama Kanwil DJP Jaksel II, menjelaskan mengenai pajak atas dividen. Menurutnya, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan mengatur pengecualian dividen.
“Dividen dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan adalah dividen yang berasal dari dalam negeri yang diperoleh badan dalam negeri dan orang pribadi dalam negeri sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di NKRI dalam jangka waktu tertentu, dividen yang berasal dari luar negeri sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di NKRI dalam jangka waktu tertentu, deviden dikecualikan dari pengenaan pajak penghasilan dengan ketentuan minimal 30% dari keuntungan setelah pajak (sesuai dengan proporsi kepemilikan saham) diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di NKRI dalam jangka waktu tertentu,” papar Irla.
Sebagai informasi, RDN Consulting, yang didirikan oleh JB Rusdiono pada tahun 2012, memberikan jasa konsultasi pajak. Pada awal tahun 2019, JB Rusdiono mulai melayani jasa akuntansi di bawah izinnya, Kantor Jasa Akuntansi Rusdiono. Perusahaan ini kemudian menggabungkan layanan dan memperkenalkan merek baru: RDN Consulting, yang melayani perpajakan, akuntansi, due diligence, corporate secretary, payroll, Transfer Pricing Documentation, dan likuidasi.
Contact Person :
Kornelia Rismarini R. (Corporate Secretary)
+62 811-1971-748